Manu Kumar Jain, Vice President Xiaomi, pernah mengklaim Xiaomi tak mau terlalu serakah mengambil untung. harga vimax original atau harga yurill susu detox dan harga zevit grow atau harga apartemen meikarta atau harga jam tangan dan harga rice cooker atau harga jaket bomber dan harga cincin emas atau harga mesin cuci dan harga kacamata minus "Belum lama ini ketika Xiaomi berjualan saham ke publik, kami sudah mengatakan akan membatasi margin keuntungan kami sampai 5%. Kami komitmen soal ini," kata dia.
Pernyataan serupa dikemukakan pendiri Xiaomi sendiri, Lei Jun. "Sejak awal, kami memulai misi besar untuk mencapai inovasi, kualitas, desain, pengalaman pengguna dan peningkatan efisiensi, untuk menyediakan produk dan layanan teknologi terbaik dengan harga terjangkau," kata dia di pertengahan tahun 2018.
Bagaimana Xiaomi bisa bertahan? Beberapa metode mereka jalankan. Misalnya dengan mengharapkan pendapatan besar dari software dan layanan internet, perangkat elektronik lain yang mereka jual, sampai memasarkan dengan kuantitas sebanyak mungkin.
"Kami menjual perangkat dengan harga tak jauh dari biaya produksi. Selama perangkat tersebut dijual, biaya komponen akan turun. Ketika kapasitas produksi meningkat, kami mendapatkan sedikit keuntungan dari situ," kata mantan VP of International Xiaomi, Hugo Barra.
Strategi itu memang menarik banyak konsumen, tapi berisiko membuat Xiaomi rugi atau setidaknya tertekan soal finansial. Pertengahan tahun lalu sebelum melantai di bursa saham, Xiaomi melaporkan rugi USD 1,1 miliar di kuartal 1 2018, seperti dilaporkan Reuters. Bahkan sepanjang 2017, Xiaomi tekor USD 6,9 miliar.
Walau demikian, Xiaomi berhasil membalikkan keadaan dan meraup untung sebesar USD 2,1 miliar pada kuartal pertama sejak melakukan IPO. Bagaimanapun, strategi margin penjualan yang tipis agak mengkhawatirkan sebagian pihak, Xiaomi mungkin bisa 'berdarah-darah' soal uang.
Visi Lei Jun menurut Forbes adalah membuat Xiaomi kuat dalam menjual layanan internet seperti finansial atau game yang menjadi bagian sistem operasi MIUI. Dengan menjual banyak ponsel murah, harapannya konsumen akan menghabiskan uang di layanan-layanan tersebut, terutama di China.
"Xiaomi lebih dari sekadar perusahaan hardware. Kami adalah perusahaan internet yang terpacu untuk berinovasi," sebut Lei. Tapi visi itu masih diragukan dapat tercapai dengan gemilang karena di China sendiri, layanan online didominasi oleh raksasa semacam Alibaba dan Tencent.
Maka, menaikkan harga mungkin menjadi upaya Xiaomi meraih untung lebih atau ada strategi lain di benak Lei Jun yang belum ia kemukakan. Bisa jadi Lei hanya ingin menaikkan pamor Xiaomi sebagai brand utama, sedangkan merek Redmi dan Pocophone yang didaulat tetap menjual ponsel murah.
"Sebenarnya, kami ingin menanggalkan reputasi yang menyatakan bahwa ponsel kami berharga kurang dari 2.000 yuan (Rp 4,2 juta). Kami ingin melakukan lebih banyak investasi dan membuat produk yang lebih baik," ujar Lei soal keinginannya agar Xiaomi tak melulu jual murah.